Sabtu, 05 Januari 2013

Pengurangan Jatah BBM bersubsidi



Pemerintah mengusulkan untuk mengurangi kuota BBM bersubsidi jenis Premium pada RAPBN 2012. Pemerintah menginginkan kuota turun dari 40 juta kiloliter menjadi 37,8 juta kiloliter mulai 2012 nanti. Selisih anggaran subsidi dari pengurangan kuota itu direncanakan menjadi dana cadangan risiko fiskal. Pemerintah tetap berupaya untuk mengejar kuota pada 37,8 kiloliter, namun jika ada selisih Pemerintah siap untuk menjelaskan kepada DPR. 

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 1 April ternyata tidak diikuti oleh pertambahan kuota BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2012. Langkah pengendalian yang diajukan di antaranya dengan mengatur konsumsi BBM bersubsidi untuk transportasi milik badan usaha milik negara dan daerah, pengurangan BBM bersubsidi di daerah elite dan jalan tol, pelaksanaan hari tanpa penjualan BBM bersubsidi pada waktu dan daerah tertentu, serta mendorong pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan peningkatan pengawasan.

Jebolnya berbagai kuota BBM bersubsidi di berbagai daerah seperti di Kalimantan, memang memunculkan wacana untuk kembali mengubah APBN dua kali sepanjang 2012.
Bahkan, anggota Komisi VII DPR, Asfihani ikut berkomentar. Menurutnya, ada dua cara untuk mengatasi jebolnya kuota BBM bersubsidi di Indonesia. Cara pertama adalah melakukan verifikasi data yang carut marut setiap daerah dan tidak sama.

Berikut ini berbagai argumentasi yang mendukung pengurangan subsidi BBM:

1.   Ketersediaan SDA minyak makin berkurang, maka perlu digunakan secara bijak.
Harga BBM yang murah di Indonesia dibandingkan dengan beberapa Negara di luar, menyebabkan konsumsi BBM amat tinggi. Ketergantungan terhadap minyak sebesar 48.4%. Pengurangan subsidi BBM otomatis menyebabkan kenaikan harga BBM.
2.   Subsidi dari awal tidak tepat sasaran, jadi tak apa dikurangi.
Lagu lama bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena 40% lebih konsumsi BBM digunakan oleh kelompok berkemampuan atas di Indonesia. Jadi tak apa mengurangi subsidi BBM karena sedari awal orang-orang mampu lah yang akan banyak membayar.
3.   Diversifikasi dilakukan secara paralel dengan pencabutan subsidi.
Melihat Negara Brazil yang sudah menerapkan diversifikasi energi, bahwa mereka dahulu berkorban untuk mengalami ‘musibah’ nasional sembari mengembangkan sumber energi selain minyak.
4.   Konsekuensi logis untuk mengimpor
Konsekuensi Logis Sistem PSC membuat Indonesia mengekspor minyak mentah ke luar negeri, sehingga minyak mentah yang masuk ke kilang ±570 ribu barrel. Kapasitas kilang Indonesia sebesar 1,157 juta barrel. Sementara konsumsi BBM di Indonesia sudah mencapai 1,3 juta barrel. Konsumsi yang tinggi ini memaksa Indonesia harus impor BBM meski ada yang diekspor pula.
5.   Mendukung karena enggan terjadi demonstrasi.

Sedangkan berikut ini adalah berbagai argumentasi penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM:

1.   Perhitungan yang aneh dan belum ada kejelasan alokasi dana.
Aneh saat pemerintah memutuskan untuk menghemat sekitar Rp 50 Triliun melalui alokasi subsidi BBM, namun memberikan kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLSM) ke 74 juta warga miskin yang besarnya Rp 25 Triliun + untuk angkutan umum sekitar Rp 5 Triliun. Cuma dapat Rp 20 Triliun.
Bagi yang menggunakan argumen ini pastilah menolak pengurangan subsidi BBM, dan meminta agar pemerintah mengkaji ulang alokasi dana dari penghematan subsidi BBM. 
2.   Penggunaan dana APBN tidak efisien.
»         APBN bocor rata-rata 30% tiap tahun (Dr. Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan RI).
»          Belum sehatnya proses pengadaan selama ini menyebabkan keuangan negara mengalami “kebocoran” antara 10% – 50% per tahun (Agus Raharjo, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
Pernyataan kebocoran memang belum disertai data memadai mengenai sektor mana saja yang bocor.
3.   Sudahkah kembali melirik Blueprint Pengelolaan Energi Nasional?
Banyak yang telah sadar bahwa konsumsi BBM di Indonesia itu terlampau tinggi sementara persediaan minyak kian menurun. Oleh karena itu, mungkin terpikirkan bahwa kenaikan harga BBM-lah yang paling tepat agar konsumsi berkurang. Padahal sedari dulu sudah amat banyak pihak mengusulkan agar diversifikasi sumber energi segera ditingkatkan dan jangan lupa bahwa Indonesia memiliki Blueprint PEN 2006-2025.
4.   Rakyat tercekik
Pengurangan subsidi BBM à Kenaikan harga BBM à Kenaikan harga bahan pokok (pangan dll) ß Daya beli masyarakat tidak meningkat.

Argumen ini sepertinya merupakan argumen paling sederhana yang dikemukakan. Kenaikan harga BBM sebesar Rp 1500/liter dapat memicu kenaikan inflasi 2.15%, penurunan daya beli 2.10%, penambahan kemiskinan 0.98%.

Yang mengusung argumen ini pastilah meminta agar pemerintah terlebih dahulu memberi ruang kekondusifan bagi industri dan UKM agar nantinya dapat memperluas lapangan pekerjaan. Juga pembenahan transportasi massal dan infrastruktur pendukung lainnya.
5.   PNBP dan PPh (Pajak Penghasilan) dari Migas seharusnya sudah mencukupi untuk menutupi kebutuhan subsidi BBM.
Pada   APBN 2012 dicantumkan, persentase subsidi energi terhadap APBN sebesar 14,79% sementara persentase total pendapatan Negara dari migas terhadap APBN sebesar 15,35%. Namun, mengapa Negara masih kekurangan dana? Hal ini dikabarkan karena perusahaan-perusahaan migas yang ada di Indonesia banyak yang tidak membayar pajak sesuai dengan jumlah yang diwajibkan, dan ini berlangsung dari tahun ke tahun.
6.   Jumlah penerima BLSM berbeda dengan data BPS.
Tahun 2011, jumlah penduduk kategori miskin yang tercatat di Biro Pusat Statistik (BPS) sejumlah 30 juta. Namun, pemerintah ingin memberikan kompensasi berupa BLSM yang ditargetkan kepada 74 juta jiwa penduduk miskin.
7.   Mengubah mekanisme distribusi BBM bersubsidi lebih tepat ketimbang harus mengurangi subsidi.
Jika pemerintah mengatakan bahwa distribusi BBM bersubsidi tidak adil karena 53%-nya dinikmati oleh pengguna kendaraan bermotor pribadi, maka jawabannya bukan dengan menaikkan harga, tetapi bagaimana mengendalikan distribusi BBM secara terkendali, akuntabel dan transparan, sehingga distribusinya dapat dipertanggungjawabkan.
8.   Indikasi salah urus di sektor Pengelolaan Produksi & Distribusi Nasional
Padahal seharusnya masyarakat senang jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, bukannya dianggap sebagai bencana, jika target produksi dalam negeri oleh Pertamina tercapai. Dari sini sudah terlihat indikasi adanya ‘salah urus’ di sektor pengelolaan produksi dan distribusi nasional. Kalau minyak jadi semakin mahal maka pajak penerimaah bagi Negara meningkat, sehingga keseimbangan kenaikan dan penerimaan pun terjadi.
9. Kenaikan harga BBM diperkirakan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan konsumsi BBM.
Argumen pro, salah satunya ialah dengan kenaikan harga BBM menjadi Rp 6000/ liter diharapkan masyarakat terstimulus untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
10.  Kenapa harus ekspor minyak?
Konsumsi rata-rata minyak Indonesia: 1300 million barrel crude oil per day (MBCD), sedangkan rata-rata lifting minyak Indonesia: 950 MBCD. Dari 950 itu sekitar 395 MBCD diekspor ke luar negeri.
“Kenapa kok ngekspor, padahal kebutuhan dalam negeri saja tidak mencukupi?” 
Karena pemilik 395 MBCD ini bukan pemerintah, tapi perusahaan asing contohnya Exxon, BP, Chevron, dsb. yang diatur dalam UU Migas. Sehingga kebijakan ekspor sekitar 395 MBCD ini bukan wewenang pemerintah, tapi sepenuhnya hak perusahaan-perusahaan tersebut.

Maka untuk memenuhi defisit ini, pemerintah mengimpor BBM sekitar 340 MBCD dan minyak mentah 313 MBCD untuk kemudian diolah Pertamina. Sehingga jelas bahwa memang Indonesia sekarang negara pengekspor dan pengimpor minyak mentah.

Dengan argumen ini, maka renegosiasi kontrak royalti di sektor migas dan pertambangan lah yang paling konkret. Bahkan bisa sampai revisi UU Migas.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar