Pemerintah mengusulkan untuk mengurangi kuota BBM bersubsidi
jenis Premium pada RAPBN 2012. Pemerintah menginginkan kuota turun dari 40 juta
kiloliter menjadi 37,8 juta kiloliter mulai 2012 nanti. Selisih anggaran
subsidi dari pengurangan kuota itu direncanakan menjadi dana cadangan risiko
fiskal. Pemerintah tetap berupaya untuk mengejar kuota pada 37,8 kiloliter,
namun jika ada selisih Pemerintah siap untuk menjelaskan kepada DPR.
Kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 1 April ternyata tidak diikuti
oleh pertambahan kuota BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara-Perubahan (APBN-P) 2012. Langkah pengendalian yang diajukan di antaranya
dengan mengatur konsumsi BBM bersubsidi untuk transportasi milik badan usaha
milik negara dan daerah, pengurangan BBM bersubsidi di daerah elite dan jalan
tol, pelaksanaan hari tanpa penjualan BBM bersubsidi pada waktu dan daerah
tertentu, serta mendorong pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan
peningkatan pengawasan.
Jebolnya berbagai kuota BBM bersubsidi di berbagai
daerah seperti di Kalimantan, memang memunculkan wacana untuk kembali mengubah
APBN dua kali sepanjang 2012.
Bahkan, anggota Komisi VII DPR, Asfihani ikut
berkomentar. Menurutnya, ada dua cara untuk mengatasi jebolnya kuota BBM
bersubsidi di Indonesia. Cara pertama adalah melakukan verifikasi data yang
carut marut setiap daerah dan tidak sama.
Berikut
ini berbagai argumentasi yang mendukung pengurangan subsidi BBM:
1.
Ketersediaan SDA minyak makin berkurang, maka perlu digunakan secara bijak.
Harga BBM
yang murah di Indonesia dibandingkan dengan beberapa Negara di luar,
menyebabkan konsumsi BBM amat tinggi. Ketergantungan terhadap minyak
sebesar 48.4%. Pengurangan subsidi BBM otomatis menyebabkan kenaikan harga BBM.
2.
Subsidi dari awal tidak tepat sasaran, jadi tak apa dikurangi.
Lagu lama
bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena 40% lebih konsumsi BBM
digunakan oleh kelompok berkemampuan atas di Indonesia. Jadi tak apa
mengurangi subsidi BBM karena sedari awal orang-orang mampu lah yang akan
banyak membayar.
3.
Diversifikasi dilakukan secara paralel dengan pencabutan subsidi.
Melihat
Negara Brazil yang sudah menerapkan diversifikasi energi, bahwa mereka dahulu
berkorban untuk mengalami ‘musibah’ nasional sembari mengembangkan sumber
energi selain minyak.
4.
Konsekuensi logis untuk mengimpor
Konsekuensi
Logis Sistem PSC membuat Indonesia mengekspor minyak mentah ke luar negeri,
sehingga minyak mentah yang masuk ke kilang ±570 ribu barrel. Kapasitas kilang
Indonesia sebesar 1,157 juta barrel. Sementara konsumsi BBM di Indonesia sudah
mencapai 1,3 juta barrel. Konsumsi yang tinggi ini memaksa Indonesia harus
impor BBM meski ada yang diekspor pula.
5.
Mendukung karena enggan terjadi demonstrasi.
Sedangkan berikut ini adalah berbagai argumentasi
penolakan terhadap pengurangan subsidi BBM:
1.
Perhitungan yang aneh dan belum ada kejelasan alokasi dana.
Aneh saat
pemerintah memutuskan untuk menghemat sekitar Rp 50 Triliun melalui alokasi
subsidi BBM, namun memberikan kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai
Sementara (BLSM) ke 74 juta warga miskin yang besarnya Rp 25 Triliun + untuk
angkutan umum sekitar Rp 5 Triliun. Cuma dapat Rp 20 Triliun.
Bagi yang
menggunakan argumen ini pastilah menolak pengurangan subsidi BBM, dan meminta
agar pemerintah mengkaji ulang alokasi dana dari penghematan subsidi BBM.
2.
Penggunaan dana APBN tidak efisien.
»
APBN bocor rata-rata 30% tiap
tahun (Dr. Fuad Bawazier, Mantan
Menteri Keuangan RI).
»
Belum sehatnya proses pengadaan selama ini
menyebabkan keuangan negara mengalami “kebocoran” antara 10% – 50% per tahun (Agus Raharjo, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah)
Pernyataan
kebocoran memang belum disertai data memadai mengenai sektor mana saja yang
bocor.
3.
Sudahkah kembali melirik Blueprint Pengelolaan Energi Nasional?
Banyak
yang telah sadar bahwa konsumsi BBM di Indonesia itu terlampau tinggi sementara
persediaan minyak kian menurun. Oleh karena itu, mungkin terpikirkan bahwa
kenaikan harga BBM-lah yang paling tepat agar konsumsi berkurang. Padahal
sedari dulu sudah amat banyak pihak mengusulkan agar diversifikasi sumber
energi segera ditingkatkan dan jangan lupa bahwa Indonesia memiliki
Blueprint PEN 2006-2025.
4.
Rakyat tercekik
Pengurangan
subsidi BBM à Kenaikan harga BBM à Kenaikan harga bahan pokok (pangan dll) ß Daya
beli masyarakat tidak meningkat.
Argumen
ini sepertinya merupakan argumen paling sederhana yang dikemukakan. Kenaikan
harga BBM sebesar Rp 1500/liter dapat memicu kenaikan inflasi 2.15%, penurunan
daya beli 2.10%, penambahan kemiskinan 0.98%.
Yang
mengusung argumen ini pastilah meminta agar pemerintah terlebih dahulu memberi
ruang kekondusifan bagi industri dan UKM agar nantinya dapat memperluas
lapangan pekerjaan. Juga pembenahan transportasi massal dan infrastruktur
pendukung lainnya.
5.
PNBP dan PPh (Pajak Penghasilan) dari Migas seharusnya sudah mencukupi untuk
menutupi kebutuhan subsidi BBM.
Pada
APBN 2012 dicantumkan, persentase subsidi energi terhadap APBN sebesar
14,79% sementara persentase total pendapatan Negara dari migas terhadap APBN
sebesar 15,35%. Namun, mengapa Negara masih kekurangan dana? Hal ini dikabarkan
karena perusahaan-perusahaan migas yang ada di Indonesia banyak yang tidak
membayar pajak sesuai dengan jumlah yang diwajibkan, dan ini berlangsung dari
tahun ke tahun.
6.
Jumlah penerima BLSM berbeda dengan data BPS.
Tahun
2011, jumlah penduduk kategori miskin yang tercatat di Biro Pusat Statistik
(BPS) sejumlah 30 juta. Namun, pemerintah ingin memberikan kompensasi berupa
BLSM yang ditargetkan kepada 74 juta jiwa penduduk miskin.
7.
Mengubah mekanisme distribusi BBM bersubsidi lebih tepat ketimbang harus
mengurangi subsidi.
Jika
pemerintah mengatakan bahwa distribusi BBM bersubsidi tidak adil karena 53%-nya
dinikmati oleh pengguna kendaraan bermotor pribadi, maka jawabannya bukan
dengan menaikkan harga, tetapi bagaimana mengendalikan distribusi
BBM secara terkendali, akuntabel dan transparan, sehingga distribusinya dapat dipertanggungjawabkan.
8.
Indikasi salah urus di sektor Pengelolaan Produksi & Distribusi Nasional
Padahal
seharusnya masyarakat senang jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, bukannya
dianggap sebagai bencana, jika target produksi dalam negeri oleh Pertamina
tercapai. Dari sini sudah terlihat indikasi adanya ‘salah urus’ di sektor
pengelolaan produksi dan distribusi nasional. Kalau minyak jadi semakin
mahal maka pajak penerimaah bagi Negara meningkat, sehingga keseimbangan
kenaikan dan penerimaan pun terjadi.
9.
Kenaikan harga BBM diperkirakan tidak berpengaruh signifikan terhadap
pengurangan konsumsi BBM.
Argumen
pro, salah satunya ialah dengan kenaikan harga BBM menjadi Rp 6000/ liter
diharapkan masyarakat terstimulus untuk mengurangi penggunaan kendaraan
bermotor pribadi.
10. Kenapa
harus ekspor minyak?
Konsumsi
rata-rata minyak Indonesia: 1300 million barrel crude oil per day
(MBCD), sedangkan rata-rata lifting minyak Indonesia: 950 MBCD. Dari 950 itu
sekitar 395 MBCD diekspor ke luar negeri.
“Kenapa
kok ngekspor, padahal kebutuhan dalam negeri saja tidak mencukupi?”
Karena
pemilik 395 MBCD ini bukan pemerintah, tapi perusahaan asing contohnya Exxon,
BP, Chevron, dsb. yang diatur dalam UU Migas. Sehingga kebijakan ekspor sekitar
395 MBCD ini bukan wewenang pemerintah, tapi sepenuhnya hak
perusahaan-perusahaan tersebut.
Maka
untuk memenuhi defisit ini, pemerintah mengimpor BBM sekitar 340 MBCD dan
minyak mentah 313 MBCD untuk kemudian diolah Pertamina. Sehingga jelas bahwa
memang Indonesia sekarang negara pengekspor dan pengimpor minyak mentah.
Dengan
argumen ini, maka renegosiasi kontrak royalti di sektor migas dan pertambangan
lah yang paling konkret. Bahkan bisa sampai revisi UU Migas.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar